CUSTOMER GATHERING BANK COMMONWEALTH
THEME : INDONESIA - THE PRICE OF POPULARITY
NARA SUMBER : STEVEN SATYA YUDHA,AVP -
PORTFOLIO STRATEGY
PT.BANK COMMONWEALTH
TANGGAL : 06 SEPTEMBER 2013
JAM : 18.00 - Selesai
Tulisan :Ada Permainan di Pasar Modal ? Harian Suara Merdeka tanggal 20 September 2013
Jumat, 6 September 2013, saya beruntung mendapat undangan untuk
hadir pada suatu customer gathering dari sebuah bank penanaman modal
asing (PMA) terkemuka dengan tema ‘’Indonesia-The Price of Popularity’’.
Judul menarik, namun jujur, tak paham. Otak bimbang antara berangkat
atau tidak, dan akhirnya ada dorongan kuat untuk melangkah.
Presentasi
ternyata dikaitkan dengan situasi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini.
Kemerosotan rupiah dan terpuruknya harga saham menjadi fokus .Yah...saya
anggap saja kuliah gratis. Bawaannya dari dulu lemah untuk mengikuti
sistem belajar model kelas, harus duduk manis. Beruntung ada
gambar/grafis/visual yang membantu untuk menyerap, meski sedikit, apa
yang disampaikan panjang lebar.
Penjelasan mengacu data historis
situasi keuangan domestik dan global, yaitu dari tahun 2008 hingga
terkini disajikan apik. Dalam waktu yang sependek itu, saya hanya
menangkap (entah benar/tidak) bahwa gejolak dunia finansial belakangan
ini terkait masalah likuiditas akibat modal (asing) dari investor yang
ke luar dari Indonesia.
Ini kondisi wajar saja karena sesuai
mekanisme pasar modal. Bila ada modal asing masuk, kebutuhan di pasar
modal naik, harga surat berharga akan menguat, demikian juga bila
sebaliknya. Dijabarkan bahwa saat harga terpuruk adalah saat perlu
dipertimbangkan untuk masuk ke pasar/time to buy. Hanya waktunya kapan
yang harus cermat, agar tidak memposisikan sebagai sasaran dari pisau
jatuh (istilah pembawa materi yang diartikan jangan masuk pasar ternyata
harga masih merosot dan merosot lagi). Namun juga tidak disarankan
terburu-buru keluar pasar, istilahnya cut loss, karena pasti rugi.
Dijelaskan juga mengenai psikologi investor kalem dan investor panik
terkait saat time to buy, stay atau cut loss. Investor butuh saraf
sekuat baja tampaknya. Konon pasar modal Rusia pernah terpuruk hingga
80%.
Tiba saatnya sesi tanya jawab. Dengan pemahaman yang didapat
sesaat, namun ada rasa ingin tahu, saya memberanikan diri untuk
bertanya. Dari gambar visual yang ditayangkan tampak bahwa dari rentang
waktu 2008-2013 fluktuasi (tajam) sering terjadi, dan semakin sering
terjadi belakangan ini. Yah, perasaan baru Juni 2013 ada berita berita
IHSG melemah, hanya berselang 2 bulan, Agustus 2013, IHSG terpuruk.
Saya
berimajinasi menjadi bagian investor lokal/domestik, mencoba bertanya
apakah fluktuasi yang semakin sering ini suatu kewajaran? Dijelaskan,
inilah konsekuensi dari perkembangan pesat bursa Indonesia, sehingga
fluktuasi menjadi hal yang wajar-wajar saja. Mungkin yang dimaksud
adalah Bursa Efek Indonesia (BEI) yang semakin berkibar ini ibarat makin
tinggi makin kuat kena hembusan angin. Mungkin, ini inti pesan dari
tema ‘’Indonesia-The Price of Popularity’’.
Karena kondisi tahun
2008 sering diutarakan berulang, mendadak terlintas di benak suatu
kejadian besar di tahun tersebut, yaitu BEI sempat disuspen karena
kepanikan investor telah mengakibatkan kemerosotan. Bahkan, karena
berita itu ekstrem, saya teringat terus salah satu media membuat sub
judul bahwa kemerosotan BEI (waktu itu) terburuk di dunia.
Dari
media waktu itu sempat muncul statemen dari otoritas pasar modal
Indonesia yang menyebutkan ada permainan di BEI dan harus diusut tuntas.
Kalau Investor harus menanggung risiko akibat gejolak yang bersumber
mekanisme pasar, itu adalah konsekuensi. Fair-fair saja. Saya juga
menanyakan bagaimana kalau kemerosotan itu bukan karena mekanisme pasar
yang wajar? Ada permainan, penyalahgunaan aturan yang mengakibatkan
kepanikan, seperti kejadian saat itu? Tentunya tidak fair kalau ini
dianggap sebagai risiko yang harus ditanggung sepenuhnya oleh investor.
Atas
pertanyaan ini dijelaskan solusinya adalah harus cerdas dalam
menentukan portofolio, jangan hanya saham tapi juga di obligasi dan yang
lain. Intinya tidak menempatkan telur dalam satu keranjang. Penjelasan
yang bagus, hanya saja terasa normatif. Di dunia nyata tak terbayang,
saat itu, betapa para ujung tombak yang langsung berinteraksi akan jadi
bulan-bulanan kepanikan para kliennya.
Apalagi kejadiannya sulit
dijabarkan dengan mekanisme pasar yang terjadi dengan menyandang
predikat sebagai bursa yang merosotnya terburuk se dunia. Dan betapa
kalutnya, karena semua bekal edukasi tidak cocok menjadi materi
konsultasi untuk meredam kepanikan para klien. Bukan tidak mungkin para
ujung tombak berubah menjadi ‘’ujung tombok’’.
Untuk orang awam,
mungkin perlu dipikirkan oleh pakar sisi-sisi perlindungan investor. Ini
penting sebagai antisipasi agar investor tidak harus menanggung risiko
yang dibuat segelintir avonturir. Siapa tahu dengan adanya perlindungan
ini akan menggairahkan investor domestik masuk ke pasar modal
Indonesia? Siapa tahu dengan demikian investor domestik bisa merebut
kembali pasar modal Indonesia dari dominasi investor asing yang sering
sesuka hati mempermainkan BEI dengan isu likuiditas melalui modalnya
yang seenaknya melenggang masuk-ke luar demi untuk keuntungan mereka.
Merdeka! Indonesia-The Prize of Popularity