Thursday, September 5, 2013

INDONESIA-THE PRICE OF POPULARITY

CUSTOMER GATHERING BANK COMMONWEALTH

THEME : INDONESIA - THE PRICE OF POPULARITY

NARA SUMBER : STEVEN SATYA YUDHA,AVP - 

                                 PORTFOLIO STRATEGY

                                 PT.BANK COMMONWEALTH 

TANGGAL          :  06 SEPTEMBER 2013

JAM                     :  18.00 - Selesai

 






Tulisan :Ada Permainan di Pasar Modal ? Harian Suara Merdeka tanggal 20 September 2013


 

 Jumat, 6 September 2013, saya beruntung mendapat undangan untuk hadir pada suatu customer gathering dari sebuah bank penanaman modal asing (PMA) terkemuka dengan tema ‘’Indonesia-The Price of Popularity’’. Judul menarik, namun jujur, tak paham. Otak bimbang antara berangkat atau tidak, dan akhirnya ada dorongan kuat untuk melangkah.
Presentasi ternyata dikaitkan dengan situasi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Kemerosotan rupiah dan terpuruknya harga saham menjadi fokus .Yah...saya anggap saja kuliah gratis. Bawaannya dari dulu lemah untuk mengikuti sistem belajar model kelas, harus duduk manis. Beruntung ada gambar/grafis/visual yang  membantu untuk menyerap, meski sedikit, apa yang disampaikan panjang lebar.
Penjelasan mengacu data historis situasi keuangan domestik dan global, yaitu dari tahun 2008 hingga terkini disajikan apik. Dalam waktu yang sependek itu, saya hanya menangkap (entah benar/tidak) bahwa gejolak dunia finansial belakangan ini terkait masalah likuiditas akibat modal (asing) dari investor yang ke luar dari Indonesia.
Ini kondisi wajar saja karena sesuai mekanisme pasar modal. Bila ada modal asing masuk, kebutuhan di pasar modal naik, harga surat berharga akan menguat, demikian juga bila sebaliknya. Dijabarkan bahwa saat harga terpuruk adalah saat perlu dipertimbangkan untuk masuk ke pasar/time to buy. Hanya waktunya kapan yang harus cermat, agar tidak memposisikan sebagai sasaran dari pisau jatuh (istilah pembawa materi yang diartikan jangan masuk pasar ternyata harga masih merosot dan merosot lagi). Namun juga tidak disarankan terburu-buru keluar pasar, istilahnya cut loss, karena pasti rugi. Dijelaskan juga mengenai psikologi investor kalem dan investor panik terkait saat time to buy, stay atau cut loss. Investor butuh saraf sekuat baja tampaknya. Konon pasar modal Rusia pernah terpuruk hingga 80%.
Tiba saatnya sesi tanya jawab. Dengan pemahaman yang didapat sesaat, namun ada rasa ingin tahu, saya memberanikan diri untuk bertanya. Dari gambar visual yang ditayangkan tampak bahwa dari rentang waktu 2008-2013 fluktuasi (tajam) sering terjadi, dan semakin sering terjadi belakangan ini. Yah, perasaan baru Juni 2013 ada berita berita IHSG melemah, hanya berselang 2 bulan, Agustus 2013, IHSG terpuruk.
Saya berimajinasi menjadi bagian investor lokal/domestik, mencoba bertanya apakah fluktuasi yang semakin sering ini suatu kewajaran? Dijelaskan, inilah konsekuensi dari perkembangan pesat bursa Indonesia, sehingga fluktuasi menjadi hal yang wajar-wajar saja. Mungkin yang dimaksud adalah Bursa Efek Indonesia (BEI) yang semakin berkibar ini ibarat makin tinggi makin kuat kena hembusan angin. Mungkin, ini inti pesan dari tema ‘’Indonesia-The Price of Popularity’’.
Karena kondisi tahun 2008 sering diutarakan berulang, mendadak terlintas di benak suatu kejadian besar di tahun tersebut, yaitu BEI sempat disuspen karena kepanikan investor telah mengakibatkan kemerosotan. Bahkan, karena berita itu ekstrem, saya  teringat terus salah satu media membuat sub judul bahwa kemerosotan BEI (waktu itu) terburuk di dunia.
Dari media waktu itu sempat muncul statemen dari otoritas pasar modal Indonesia yang menyebutkan ada permainan di BEI dan harus diusut tuntas. Kalau Investor harus menanggung risiko akibat gejolak yang bersumber mekanisme pasar, itu adalah konsekuensi. Fair-fair saja. Saya juga menanyakan bagaimana kalau kemerosotan itu bukan karena mekanisme pasar yang wajar? Ada permainan, penyalahgunaan aturan yang mengakibatkan kepanikan, seperti kejadian saat itu? Tentunya tidak fair kalau ini dianggap sebagai risiko yang harus ditanggung sepenuhnya oleh investor.
Atas pertanyaan ini dijelaskan solusinya adalah harus cerdas dalam menentukan portofolio, jangan hanya saham tapi juga di obligasi dan yang lain. Intinya tidak menempatkan telur dalam satu keranjang. Penjelasan yang bagus, hanya saja terasa normatif. Di dunia nyata tak terbayang, saat itu, betapa para ujung tombak yang langsung berinteraksi akan jadi bulan-bulanan kepanikan para kliennya.
Apalagi kejadiannya sulit dijabarkan dengan mekanisme pasar yang terjadi dengan menyandang predikat sebagai bursa yang merosotnya terburuk se dunia. Dan betapa kalutnya, karena semua bekal edukasi tidak cocok menjadi materi konsultasi untuk meredam kepanikan para klien. Bukan tidak mungkin para ujung tombak berubah menjadi ‘’ujung tombok’’.
Untuk orang awam, mungkin perlu dipikirkan oleh pakar sisi-sisi perlindungan investor. Ini penting sebagai antisipasi agar investor tidak harus menanggung risiko yang dibuat segelintir avonturir. Siapa tahu dengan adanya perlindungan ini akan menggairahkan investor domestik masuk ke pasar modal Indonesia? Siapa tahu dengan demikian investor domestik bisa merebut kembali pasar modal Indonesia dari dominasi investor asing yang sering sesuka hati mempermainkan BEI dengan isu likuiditas melalui modalnya yang seenaknya melenggang masuk-ke luar demi untuk keuntungan mereka. Merdeka! Indonesia-The Prize of Popularity



Approaching the tipping points

           Bunga Stimulus 2020 (pandemic covid) jauh lebih besar dari stimulus krisis 2008 Uang beredar 2020     lebih besar daripada saat k...